Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah signifikan dalam mengatur sektor pinjaman online (pinjol) dengan mengeluarkan kebijakan ketat yang bertujuan untuk mensejahterakan ekosistem fintech dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Aturan baru ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.05/2023 yang diberlakukan untuk meningkatkan kualitas pendanaan melalui Lembaga Pembiayaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Dalam upaya menanggapi banyaknya masalah yang timbul dari maraknya penggunaan pinjaman online, OJK menetapkan beberapa persyaratan penting bagi calon peminjam. Salah satu syarat utama adalah bahwa peminjam harus berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah. Selain kriteria usia, terdapat syarat finansial yang mengharuskan calon peminjam memiliki penghasilan minimal Rp3 juta per bulan, Selasa, 7 Januari 2025.
"Batas usia minimal untuk menjadi pemberi dan penerima dana adalah 18 tahun atau sudah menikah, dengan syarat penghasilan peminjam LPBBTI minimal Rp 3 juta per bulan," jelas OJK dalam keterangan resminya. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa peminjam memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk mengelola kewajiban mereka, sekaligus meminimalisir risiko gagal bayar.
Peraturan baru ini tidak hanya menargetkan peminjam, namun juga berlaku bagi pemberi dana dalam layanan Peer to Peer (P2P) lending atau fintech. Pemberi dana dibagi menjadi dua kategori, yakni Pemberi Dana Profesional dan Pemberi Dana Non Profesional. Perbedaan kedua kategori ini terletak pada jenis lembaga atau individu dan besaran penghasilan tahunan mereka.
Pemberi Dana Profesional mencakup lembaga jasa keuangan, perusahaan berbadan hukum di Indonesia atau luar negeri, serta individu yang memiliki penghasilan tahunan lebih dari Rp 500 juta. Aturan yang ketat menegaskan bahwa mereka hanya diperbolehkan menempatkan maksimal 20 persen dari total penghasilan tahunan pada satu penyelenggara LPBBTI. Ini dilakukan agar tidak terjadi penumpukan dana yang berisiko pada satu platform yang sama.
Sementara itu, Pemberi Dana Non Profesional meliputi individu yang penghasilan tahunan mereka tidak melebihi Rp 500 juta, dan bukan termasuk lembaga jasa keuangan. Untuk kelompok ini, batasan penempatan dana lebih restriktif, dengan maksimal 10 persen dari total penghasilan per tahun di satu LPBBTI.
Sebagai tindak lanjut, aturan ini menetapkan bahwa jumlah pembiayaan yang dapat disediakan oleh Pemberi Dana Non Profesional dibandingkan dengan total pembiayaan yang beredar tidak boleh melebihi 20 persen. Kebijakan ini akan sepenuhnya diterapkan paling lambat pada 1 Januari 2028, memberikan waktu transisi bagi operator dan pelaku bisnis untuk menyesuaikan dengan regulasi baru.
Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan struktur yang lebih solid bagi industri fintech, mendorong akuntabilitas, serta mencegah potensi ketidakstabilan ekonomi yang diakibatkan oleh praktik pinjaman online yang tidak bertanggung jawab.
Dengan mengedepankan transparansi dan perencanaan finansial yang matang, OJK berharap bahwa kebijakan ini tidak hanya melindungi konsumen tetapi juga menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri fintech di Indonesia.
Dengan memberikan regulasi yang jelas dan mengedepankan prinsip kehati-hatian, OJK bertujuan menjadikan pinjaman online sebagai alat yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan sebagai beban yang dapat menambah kesulitan ekonomi. "Kualitas pendanaan dan pengelolaan risiko harus menjadi prioritas utama dalam industri ini," tutup pernyataan OJK, menegaskan komitmen mereka terhadap tata kelola sektor keuangan yang lebih transparan dan bertanggung jawab.