Dedi Mulyadi Sindir Kota yang Dipimpin Mohammad Idris Karena Tidak Mampu Beli Masker Damkar

Dedi Mulyadi Sindir Kota yang Dipimpin Mohammad Idris Karena Tidak Mampu Beli Masker Damkar

Calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta agar Pemerintah Kota Depok bertanggungjawab atas gugurnya Martin Panjaitan, petugas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Depok usai melakukan pemadaman saat kebakaran. Menurutnya, Negara dalam hal ini adalah Pemkot Depok wajib memberikan perlindungan pada warganya. Dia pun menyayangkan satu nyawa melayang usai musibah kebakaran yang terjadi di Pasar Cisalak beberapa waktu lalu.

“Menurut saya negara wajib menyediakan seluruh kelengkapan K3 (kesehatan dan keselamatan kerja). Karena itu standarisasi bekerja. Nah K3 ini kan ada Undang Undang yang mengatur, untuk itu ya silahkan saja kaji dari sisi aspek hukumnya, apakah kelalaian itu memiliki implikais yuridis atau tidak? Itu kan ada pengacara yang menangani,” kata Dedi ketika konsolidasi bersama kader Gerindra Depok, Selasa, 29 Oktober 2024. 

Ditegaskan bahwa gugurnya Martin Panjaitan sebagai kelalaian pemerintah. Karena saat bekerja, petugas tidak dilengkapi dengan masker hingga menyebabkan Martin sesak nafas dan nyawanya melayang.

“Yang paling mendasar adalah, kita nugasin orang untuk berperang tapi orang itu tidak diberikan perlindungan ketika mengalami problem peperangan, dan itu kesalahan pemerintah. Maka infrastruktur kebakarannya harus baik, dari mulai mobil pemadamnya, kelengkapan K3-nya. Kemudian ambulansnya perawatnya, konektivitas jaringan ke rumah sakit,” tegasnya.

Dedi mendapat informasi bahwa selain tidak dilengkapi masker, saat kejadian juga tidak ada ambulan milik dinas yang datang ke lokasi. Unit ambulan yang didatangkan adalah milik relawan yang tidak dilengkapi peralatan medis. Dia meminta agar anggota Gerindra Depok cepat bertindak melihat adanya kelalaian ini.

“Panggil wali kotanya. Ini kota anggarannya triliunan, beli masker aja ngga bisa. Ini pembelaan, ini jihad fisabilillah. Ini kewajiban agama. Saya katakan ini adalah kewajiban agama dan ini pelaksanaan ajaran Islam,” ungkapnya.

Dia mengatakan, ketika menjadi Bupati Purwakarta dia selalu minta Ketua MUI agar dirinya diawasi keislamannya. Pengawasan tersebut dilakukan ketika penyusunan anggaran.

“Kalau anggaran saya membebaskan rakyat dari biaya pengobatan, anggaran saya membebaskan biaya pendidikan, anggaran saya membangun infrastruktur yang baik, anggaran saya membangun rumah rakyat miskin, anggaran saya memberikan jaminan hari tua, memberikan jaminan kematian, memberikan kelahiran, memberikan jaminan kepada masyarakat yang mengalami kecelakaan kerja bagi pekerja informal. Maka saya sudah melaksanakan ajaran Islam dengan baik,” tegasnya

Dedi menuturkan, ketika Martin masuk ke ambulan diketahui bahwa tidak ada kabel oksigen. Dedi mengatakan, jika ini terjadi di luar negeri maka bisa digugat di pengadilan dan pemerintah harus bertanggungjawab. Dia menyayangkan yang terjadi di Indonesia justru hanya didiamkan. Dia juga menyayangkan bahwa ambulan yang hadir adalah milik relawan

“Ini rakyat pak. Ini kenyataan pak. Negara masa ngga mampu beli kabel. Setelah itu, ambulannya (ternyata milik) relawan. Harusnya setiap pemadam kebakaran ada ambulan yang didampingi perawat dengan seluruh kelengkapannya. Ini standar kerja. Ini penting,” ungkapnya. 

Dia melihat ada tiga peristiwa kezaliman yang menimpa Martin. Mulai dari tidak lengkapnya peralatan saat bertugas, tidak lengkapnya sarana saat korban sesak hingga tidak ditangani dengan cepat di rumah sakit.

“Ini anak bangsa melaksanakan tugas nyemprot api, kelengkapan tidak ada. Pingsan, setelah itu masuk ambulan tidak kabel oksigen dan masuk rumah sakit tidak ditangani dengan cepat. Tiga peristiwa kezaliman dan kita diam. Sebelumnya seorang pengacara sudah menggugatnya. Kenapa? Karena sudah lama diingatkan ada problem penanganan di bidang pemadaman kebakaran yang tidak selesai,” ucapnya menyesalkan.

Dia mempertanyakan apakah harus ada korban anak pejabat terlebih dahulu agar kasusnya menjadi perhatian. Dedi sangat menyayangkan kondisi yang terjadi terhadap Martin.

“Apakah di Indonesia ini harus anak pejabat dulu yang mati baru ribut? Apakah harus anak petinggi dulu? Apakah pegawai biasa kemudian pegawai honorer kemudian nyawanya tidak dianggap berarti? Tidak bisa. Satu nyawa manusia Indonesia adalah berharga setara dengan siapapun,” tutupnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index