PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, yang lebih dikenal dengan singkatan BTN, menghadirkan angin segar bagi pekerja sektor informal di Indonesia. Direktur Utama BTN, Nixon Napitupulu, mengumumkan skema inovatif Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang didesain khusus bagi para pekerja yang tidak memiliki pendapatan tetap seperti pengemudi ojek online (ojol), tukang cukur, dan berbagai pekerja serupa lainnya. Langkah ini menjadi salah satu terobosan besar untuk menjawab kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama mereka yang bergerak di sektor informal.
Menurut Nixon, BTN telah aktif menyalurkan KPR dengan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), yang dikenal sebagai KPR subsidi. "Jumlahnya memang harus dinaikkan," ujar Nixon. "At least kami pengen 20 persen dari FLPP itu bisa disalurkan ke sektor informal."
Saat ini, porsi penyaluran KPR subsidi BTN untuk sektor informal mencapai 10 persen dari total penyaluran KPR FLPP. Namun, Nixon berharap pemerintah dapat meningkatkan porsinya hingga mencapai 20 persen. Hal ini tentunya akan membuka lebih banyak peluang bagi pekerja informal untuk memiliki hunian tetap, sebuah skenario yang selama ini menjadi tantangan besar akibat keterbatasan pendapatan tetap dan pencatatan finansial yang rapi.
Namun bukan berarti jalan menuju pemilikan rumah ini tanpa rintangan. Salah satu tantangan terbesar dalam penyaluran KPR subsidi bagi pekerja informal adalah tidak adanya catatan penghasilan resmi seperti slip gaji yang dimiliki oleh pekerja sektor formal. "Ini memang tantangan tersendiri bagi kita," tambah Nixon, mengakui sulitnya verifikasi penghasilan tanpa dokumen resmi.
Sementara itu, di sektor ekonomi internasional, Indonesia baru-baru ini bergabung dengan organisasi kerja sama ekonomi BRICS. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa keanggotaannya dapat memperluas pasar bagi produk pertambangan Indonesia. "Dengan keputusan kita masuk BRICS, itu adalah dalam rangka pemanfaatan pasar," ungkap Yuliot. Dia menekankan bahwa negara-negara seperti India dan China, yang menjadi anggota BRICS juga, memiliki populasi yang besar dan akan menghasilkan kebutuhan produk pertambangan yang besar pula.
Di sisi lingkungan, langkah besar lain dari pemerintah adalah penghentian sementara penerbitan izin baru untuk penggunaan air tanah di Jakarta. Menurunnya permukaan tanah atau land subsidence, disebabkan oleh ekstraksi air yang masif. "Kalau melihat itu kondisi kritis yang ada sekarang... izin baru untuk air tanah di Jakarta, ini belum akan diterbitkan," jelas Yuliot Tanjung, memaparkan langkah antisipatif terhadap krisis lingkungan Jakarta.
Pada perkembangan terkait industri tekstil, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) menekan agar manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah situasi pailit yang dialami. “Fokus kita tetap memastikan tidak adanya PHK di Sritex, dan kami meminta manajemen untuk menjamin hal tersebut,” kata Noel, memberi kepastian pada ribuan pekerja yang kini diliputi ketidakpastian.
Terakhir, terkait rencana penutupan Stasiun Karet, Direktur Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, mengungkapkan bahwa keputusan tersebut masih dalam tahap kajian. “Belum (pasti), masih dikaji. Kan definisi tutup itu belum clear,” ucap Risal menyoal kemudahan akses transportasi untuk masyarakat yang akan terdampak.
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan berbagai instansi ini menggambarkan upaya untuk menjawab tantangan sosial ekonomi dan lingkungan yang kompleks di Indonesia. Baik sektor informal yang kini bisa mengakses KPR, pemanfaatan peluang pasar internasional, atau pengendalian lingkungan, semuanya merupakan bagian dari langkah strategis menuju masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia.