Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendadak menjadi pusat perhatian setelah beberapa lender atau pemberi dana dari platform fintech peer-to-peer (P2P) lending mengajukan gugatan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Gugatan ini dipicu oleh kegagalan bayar yang dialami para lender dari beberapa fintech, termasuk platform ternama seperti Investree dan Tanifund, yang izinnya telah dicabut.
Entjik S. Djafar, Ketua Umum AFPI, menyatakan bahwa pihaknya belum mengetahui secara rinci atas isi gugatan tersebut. Namun, yang ia ketahui adalah bahwa OJK telah mengeluarkan kebijakan baru mengenai kriteria lender non-profesional, Kamis, 23 Januari 2025.
"Hal ini tentu dilakukan sebagai upaya melindungi lender dan konsumen fintech P2P Lending atau yang sekarang kami sebut pindar (pinjaman daring). Makanya sekarang lender itu diatur, harus lender yang profesional," jelas Entjik dalam acara AFPI Journalist Workshop & Gathering di Kabupaten Bandung Barat pada Rabu, 22 Januari 2025.
Dalam pemaparannya, Entjik menyayangkan masih banyak lender yang belum profesional dan tidak memahami sepenuhnya bisnis pindar. Oleh karena itu, AFPI berupaya mengedukasi perusahaan pindar agar lebih selektif dalam memilih lender.
Di tengah polemik ini, Entjik menegaskan bahwa dalam industri fintech P2P lending, terdapat hubungan langsung antara lender (pemberi dana) dengan borrower (peminjam). Sementara itu, platform pindar hanya bertindak sebagai perantara yang mempertemukan kedua belah pihak tersebut. "Jadi, tanda tangan perjanjian kredit itu bukan di kami. Tanda tangan perjanjian kredit adalah di lender dan borrower. Kami hanya broker atau sebagai mak comblang," tambahnya.
Dalam rangka memberikan perlindungan lebih lanjut kepada para lender, AFPI juga turut aktif dalam membantu proses penagihan dana hingga 90 hari. Apabila setelah waktu tersebut dana belum juga tertagih, AFPI akan membuka opsi untuk menagih melalui pihak ketiga. "Jika sudah sampai di atas 90 hari, kalau masih menunggu, kita akan informasikan ke lender. Apakah masih mau diteruskan? Kalau lender sampaikan ingin diteruskan, maka akan kami teruskan, atau kita memberikan kepada pihak ketiga untuk menagih," ungkap Entjik.
Gugatan yang dilayangkan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini terdaftar dengan Nomor 18/G/2025/PTUN.JKT sejak 20 Januari 2025. Sebanyak 142 orang yang tergabung dalam komunitas lender korban fintech P2P lending, menggugat OJK dan Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, PVML OJK Agusman.
Para lender yang berasal dari empat fintech lending, yakni PT Investree Radhika Jaya, PT Tani Fund Madani Indonesia, PT Igrow Resources Indonesia, dan PT Modal Rakyat Indonesia, menyoroti SE OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023. Surat Edaran ini terkait penyelenggaraan layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (LPBBTI), dianggap membebankan lender dengan menyebut bahwa seluruh risiko pendanaan dalam transaksi LPBBTI harus ditanggung sepenuhnya oleh lender.
Ketidakpuasan atas SE tersebut membuat para lender meminta peninjauan kembali atau pencabutan kebijakan yang membebani mereka. Dalam lingkungan fintech yang dinamis, kebijakan ini dianggap tidak memberikan keadilan bagi para pemberi dana yang telah mengalami kerugian akibat gagal bayar.
Meski demikian, AFPI berkomitmen untuk terus meningkatkan pemahaman dan perlindungan bagi lender. "Kami memahami risiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak, baik lender maupun borrower. Oleh karena itu, edukasi dan regulasi yang lebih baik menjadi kunci dalam memajukan ekosistem fintech di Indonesia," kata Entjik menutup pembicaraan.
Dengan semakin kompleksnya tantangan dalam industri fintech, langkah proaktif dari semua pemangku kepentingan, termasuk AFPI, sangat diperlukan guna memastikan terciptanya lanskap pinjaman online yang aman dan menguntungkan semua pihak. Langkah ini tidak hanya penting untuk melindungi lender, tetapi juga untuk memupuk kepercayaan publik terhadap industri fintech tanah air.